Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Sumatera. Provinsi ini terletak di bagian tengah pantai timur Pulau Sumatera, yaitu di sepanjang pesisir Selat Melaka. Hingga tahun 2004, provinsi ini juga meliputi Kepulauan Riau, sekelompok besar pulau-pulau kecil (pulau-pulau utamanya antara lain Pulau Batam dan Pulau Bintan) yang terletak di sebelah timur Sumatera dan sebelah selatan Singapura. Kepulauan ini dimekarkan menjadi provinsi tersendiri pada Juli 2004. Ibu kota dan kota terbesar Riau adalah Pekanbaru. Kota besar lainnya antara lain Dumai, Selat Panjang, Bagansiapiapi, Bengkalis, Bangkinang dan Rengat.
Riau saat ini merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, dan sumber dayanya didominasi oleh sumber alam, terutama minyak bumi, gas alam, karet, kelapa sawit dan
perkebunan serat. Tetapi, penebangan hutan yang merajalela telah
mengurangi luas hutan secara signifikan, dari 78% pada 1982 menjadi
hanya 33% pada 2005. Rata-rata 160,000 hektare hutan habis ditebang setiap tahun, meninggalkan 22%, atau 2,45 juta hektare pada tahun 2009. Deforestasi dengan tujuan pembukaan kebun-kebun kelapa sawit dan produksi kertas telah menyebabkan kabut asap yang sangat mengganggu di provinsi ini selama bertahun-tahun, dan menjalar ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Ada tiga kemungkinan asal kata riau yang menjadi nama provinsi ini. Pertama, dari kata Portugis, rio berarti sungai. Pada tahun 1514, terdapat sebuah ekspedisi militer Portugis yang menelusuri Sungai
Siak, dengan tujuan mencari lokasi sebuah kerajaan yang diyakini mereka
ada pada kawasan tersebut, dan sekaligus mengejar pengikut Sultan Mahmud Syah yang melarikan diri setelah kejatuhan Kesultanan Malaka.
Versi kedua menyebutkan bahwa riau berasal dari kata riahi yang berarti air laut. Kata ini diduga berasal dari tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Seribu Satu Malam, dan versi ketiga menyebutkan bahwa kata ini berasal dari penuturan masyarakat setempat, diangkat dari kata rioh atau riuh,
yang berarti ramai, hiruk pikuk orang bekerja. Besar kemungkinan nama
ini memang berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang Melayu
yang hidup di daerah Bintan,
yang kini masuk wilayah Kepulauan Riau. Nama itu kemungkinan telah mulai
terkenal semenjak Raja Kecik memindahkan pusat kerajaan Melayu
dariJohor ke Ulu Riau pada tahun 1719.
Riau diduga telah dihuni sejak masa antara 10.000-40.000 SM. Kesimpulan ini diambil setelah penemuan alat-alat dari zaman Pleistosin di daerah aliran sungai Sungai Sengingi di Kabupaten Kuantan Singingi pada bulan Agustus 2009. Alat batu yang ditemukan antara lain kapak penetak, perimbas, serut,
serpih dan batu inti yang merupakan bahan dasar pembuatan alat serut
dan serpih. Tim peneliti juga menemukan beberapa fosil kayu yang
diprakirakan berusia lebih tua dari alat-alat batu itu. Diduga manusia
pengguna alat-alat yang ditemukan di Riau adalah pithecanthropus erectus seperti yang pernah ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah. Penemuan bukti ini membuktikan ada kehidupan lebih tua di Riau yang selama ini selalu mengacu pada penemuan Candi Muara Takus di Kampar sebagai titik awalnya.
Pada awal abad ke-16, Tome Pires, seorang penjelajah Portugal, mencatat dalam bukunya, Summa Oriental bahwa kota-kota di pesisir timur Sumatera antara suatu daerah yang disebutnya Arcat (sekitar Aru dan Rokan) hingga Jambi merupakan pelabuhan dagang yang dikuasai oleh raja-raja dari Minangkabau. Di wilayah tersebut, para pedagang Minangkabaumendirikan kampung-kampung perdagangan di sepanjang Sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Indragiri,
dan penduduk lokal mendirikan kerajaan-kerajaan semiotonom yang diberi
kebebasan untuk mengatur urusan dalam negerinya, tetapi diwajibkan untuk
membayar upeti kepada para raja Minangkabau. Satu dari sekian banyak
kampung yang terkenal adalah Senapelan yang kemudian berkembang menjadi Pekanbaru, yang kini menjadi ibu kota provinsi.
Sejarah
Riau pada masa pra-kolonial didominasi beberapa kerajaan otonom yang
menguasai berbagai wilayah di Riau. Kerajaan yang terawal, Kerajaan Keritang, diduga telah muncul pada abad keenam, dengan wilayah kekuasaan diperkirakan terletak di Keritang, Indragiri Hilir. Kerajaan ini pernah menjadi wilayah taklukan Majapahit, namun seiring masukkan ajaran Islam, kerajaan tersebut dikuasai pula oleh Kesultanan Melaka. Selain kerajaan ini, terdapat pula Kerajaan Kemuning, Kerajaan Batin Enam Suku, dan Kerajaan Indragiri, semuanya diduga berpusat di Indragiri Hilir.
Kesultanan
Indragiri didirikan pada tahun 1298 oleh Raja Merlang I, yang uniknya
tidak berkedudukan di Indragiri, melainkan di Melaka. Urusan pemerintahan diserahkan pada para pembesar tradisional. Baru pada masa kekuasaan Narasinga II sekitar tahun 1473, para raja Indragiri mulai menetap di pusat pemerintahannya di Kota Tua. Pada tahun 1815, dibawah Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Rengat, yang kini menjadi ibu kota Kabupaten
Indragiri Hulu. Pada masa inilah Belanda mulai campur tangan dengan
urusan internal Indragiri, termasuk dengan mengangkat seorang Sultan
Muda yang berkedudukan di Peranap.
Dengan
adanya traktat perdamaian dan persahabatan yang ditandatangani pada
tanggal 27 September 1938 antara Indragiri dengan Belanda, maka
Kesultanan Indragiri menjadi zelfbestuur lindungan Belanda, dipimpin seorang controleur yang memegang wewenang mutlak terhadap kekuasaan lokal.
Selain Kesultanan Indragiri, di Riau juga ada Kesultanan Siak. Kesultanan Siak Sri Inderapura didirikan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung pada tahun 1723. Siak segera saja menjadi sebuah kekuatan besar yang dominan di wilayah Riau: atas perintah Raja Kecil, Siak menaklukkan Rokan pada 1726 dan membangun pangkalan armada laut di Pulau Bintan. Namun
keagresifan Raja Kecil ini segera ditandingi oleh orang-orang Bugis
pimpinan Yang Dipertuan Muda dan Raja Sulaiman. Raja Kecil terpaksa
melepaskan pengaruhnya untuk menyatukan kepulauan-kepulauan di lepas
pantai timur Sumatera di bawah bendera Siak, meskipun antara tahun 1740
hingga 1745 ia bangkit kembali dan menaklukkan beberapa kawasan di
Semenanjung Malaya.
Di akhir abad ke-18, Siak telah menjelma menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Pada tahun 1761, Sultan Abdul Jalil Syah III mengikat perjanjian ekslusif dengan Belanda,
dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan
dalam bidang persenjataan. Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan
di dalam tubuh kesultanan yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara
mereka, Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi
penguasa Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tidak disukai oleh
Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Laut Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Tahun 1780, Siak menaklukkan daerah Langkat, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama mereka dengan VOC, pada tahun 1784 Siak membantu tentara Belanda menyerang dan menundukkan Selangor, dan sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.
Invasi
Belanda yang agresif ke pantai timur Sumatera tidak dapat dihadang oleh
Siak. Belanda mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan
Keresidenan Riau (Residentie Riouw) di bawah pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang. Para
sultan Siak tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka telah terikat
perjanjian dengan Belanda. Kedudukan Siak semakin melemah dengan adanya
tarik-ulur antara Belanda dan Inggris yang kala itu menguasai Selat
Melaka, untuk mendapatkan wilayah-wilayah strategis di pantai timur
Sumatera. Para sultan Siak saat itu terpaksa menyerah kepada kehendak
Belanda dan menandatangani perjanjian pada Juli 1873 yang menyerahkan Bengkalis
kepada Belanda, dan mulai saat itu, wilayah-wilayah yang sebelumnya
menjadi kekuasaan Siak satu demi satu berpindah tangan kepada Belanda.
Pada masa yang hampir bersamaan, Indragiri juga mulai dipengaruhi oleh
Belanda, namun akhirnya baru benar-benar berada di bawah kekuasaan
Batavia pada tahun 1938. Penguasaan Belanda atas Siak kelak menjadi awal
pecahnya Perang Aceh.
Di pesisir, Belanda bergerak cepat menghapuskan kerajaan-kerajaan yang masih belum tunduk. Belanda menunjuk seorang residen di Tanjung Pinang untuk mengawasi daerah-daerah pesisir, dan Belanda berhasil memakzulkan Sultan Riau-Lingga, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah pada Februari 1911.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Riau menjadi salah satu sasaran utama untuk diduduki. Bala tentara Jepang menduduki Rengat pada 31 Maret 1942. Seluruh Riau dengan cepat tunduk di bawah pemerintahan Jepang. Salah satu peninggalan masa pendudukan Jepang adalah jalur kereta api sepanjang 300 km yang menghubungkan Muaro Sijunjung dan Pekanbaru yang terbengkalai. Ratusan ribu rakyat Riau dipaksa bekerja oleh tentara Jepang untuk menyelesaikan proyek ini.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, bekas wilayah Keresidenan Riau dilebur dan tergabung dalam Provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Seiring dengan penumpasan simpatisan PRRI, Sumatera Tengah dimekarkan lagi menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera
Selatan. Ketika itu, Sumatera Tengah menjadi basis terkuat dari PRRI,
situasi ini menyebabkan pemerintah pusat membuat strategi memecah
Sumatera Tengah dengan tujuan untuk melemahkan pergerakan PRRI. Selanjutnya pada tahun 1957, berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Sumatera Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatera
Barat. Kemudian yang menjadi wilayah provinsi Riau yang baru terbentuk
adalah bekas wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Keresidenan Riau
serta ditambah Kampar yang sebelumnya pada masa pendudukan tentara Jepang dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu.
Riau sempat menjadi salah satu daerah yang terpengaruh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada akhir 1950-an. Pemerintah pusat menggelar Operasi Tegas dibawah pimpinan Kaharuddin Nasution, yang kelak menjadi gubernur provinsi ini, dan berhasil menumpas sisa-sisa simpatisan PRRI.
Setelah situasi keamanan berangsur pulih, pemerintah pusat mulai mempertimbangkan untuk memindahkan ibu kota provinsi dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru,
yang secara geografis terletak di tengah-tengah. Pemerintah akhirnya
menetapkan Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi yang baru pada 20 Januari
1959 lewat Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25.