Bagelen, adalah nama sebuah desa asal-usul masyarakat Purworejo
yang bermukim di Lampung. Nama daerah yang berjarak sekitar 50 km sebelah utara
Kota Yogyakarta itu sejak tahun 1900-an tak hanya dikenal di Pulau Jawa, tetapi
juga di Provinsi Lampung. Saat itu, kafilah generasi pertama dibawa salah satu
tokoh yang bertindak sebagai koordinator bernama Kartoredjo. Rombongan ini
disebut juga sebagai cikal bakal kolonisasi Desa Bagelen, Gedong Tataan yang
ditempatkan tahun 1905. Sebab, mereka warga kolonis pertama yang diberangkatkan
dari Desa Bagelen di daerah Jawa Tengah.
Rombongan kolonis memulai perjalanan dengan menumpang kereta api
menuju Batavia (sekarang Jakarta). Mereka kemudian menempuh jalur laut dari
Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Teluk Betung menggunakan kapal uap.
Rombongan kolonis menaiki kapal barang yang memang menjadi rata-rata
transportasi masa itu. Pelabuhan Teluk Betung, lokasi sekarang di Gudang
Lelang, Sukaraja. Mereka diturunkan di sana karena itu memang pelabuhan di
Lampung. Pelabuhan Panjang yang ada sekarang baru dibuka tahun 1912.
Rombongan angkatan pertama tersebut, setelah sampai di pelabuhan dan
beristirahat sehari di sebuah gudang di Teluk Betung, untuk ke lokasi
penempatan selanjutnya berjalan kaki. Selama proses kolonisasi yang untuk periode pertama kalinya berlangsung, pemerintah Hindia Belanda tidak lepas tangan. Mereka bahkan turun langsung untuk memastikan proses berjalan baik. Hal itu dibuktikan dengan kehadiran Asisten Residen Banyumas HG Heyting yang memimpin rombongan di tengah-tengah penduduk Bagelen.
Daerah yang mereka tuju tempat bernama Gedong Tataan. Selama tiga
hari rombongan ini berjalan. Barang-barang bawaan dari Jawa dipikul atau
dipanggul. Bila lelah rombongan beristirahat. Daerah yang dituju, yaitu Gedong
Tataan, ternyata masih berupa hutan belukar dan tempatnya belum banyak dihuni
penduduk.
Rombongan kolonis angkatan Kartoredjo yang didatangkan ke Gedong
Tataan, saat itu sebanyak 43 orang, yang 3 diantaranya wanita. Ketiganya diberi
tugas khusus untuk masak memasak. Ketika itu, betapa sulitnya menerobos hutan.
Jalan yang dilewati masih berupa jalan setapak. Sementara, perkampungan
penduduk pribumi Lampung yang ada di daerah ini kebanyakan masih
perdusunan/pedukuhan dan umbul-umbul.
Setelah tiba ke tempat tujuan, mulailah mereka menebangi
pohon-pohon dan semak belukar di areal yang dituju. Dengan kerja keras dan
peralatan seadanya, rombongan pertama ini membuka lokasi baru Kolonisasi Gedong
Tataan. Selanjutnya setelah daerah penempatan sudah terbuka, secara bertahap
kolonis-kolonis ini mulai membangun tempat tinggal masing-masing dengan
berdindingkan papan/kayu, bambu/gribik serta beratapkan rumbia/alang-alang.
Kedatangan para kolonis dari daerah Bagelen, Purworejo, Jawa
Tengah ke wilayah Gedong Tataan, dalam penempatannya tidak terjadi sekaligus.
Namun rombongan tersebut datang secara berangsur-angsur selama kurun waktu
beberapa tahun seiring dengan kesiapan penyiapan untuk lahan permukiman yang
dilakukan rombongan pendahulunya. Hadirnya para kolonis dengan tempat tinggal
mereka, membuat tumbuh perkampungan permanen baru di daerah ini. Tempat yang
tadinya jarang penduduknya dan masih banyak ditumbuhi pepohonan serta semak belukar
di mana-mana itu lambat laun mulai lebih banyak yang bermukim.
Setelah kedatangan kolonis ke daerah ini, perkembangan bukaan baru
terus mengalami kemajuan. Bukan hanya dalam hal tingkat keramaian maupun
bangunan fisik saja, tetapi juga daerah yang ada secara berangsur-angsur mulai
semakin terbuka dan penduduk kolonis pun makin bertambah. Sebagai masyarakat
datangan, mereka mau bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup dan membangun
daerahnya, walaupun ketika itu segala sesuatu masih serba terbatas.
Secara umum, rombongan kolonis dari Pulau Jawa yang datang ke
Gedong Tataan dibagi dalam 5 tahap, yaitu angkatan pertama tahun 1905, angkatan
kedua tahun 1906, angkatan ketiga tahun 1907, angkatan keempat tahun 1908 dan
angkatan kelima tiba tahun 1909. Hal ini berarti kedatangan rombongan
direncanakan pemerintah Hindia Belanda selama kurun waktu 5 tahun
berturut-turut.
Selanjutnya, tahun 1910 pemerintah Hindia Belanda memberikan
kebijakan dengan menyerahkan tanah-tanah di Desa Bagelen, Gedong Tataan pada
rakyat desa untuk 537 bauw atau sekitar 424 hektar. Setiap kepala keluarga (KK)
mendapat bagian tanah 1 bauw. Dengan perincian, 0,25 bauw untuk pekarangan dan
0,75 bauw untuk persawahan atau perladangan. Ini dimaksudkan agar warga kolonis
selain memiliki permukiman juga lahan untuk pertanian dan perkebunan.
Secara garis besarnya, berdasarkan dari monografi Desa Bagelen,
Gedong Tataan, jumlah rombongan warga kolonisasi daerah Bagelen, Purworejo,
Jawa Tengah, yang didatangkan ke wilayah Gedong Tataan, yakni rombongan pertama
datang tahun 1905 sebanyak 43 orang, terdiri dari 40 orang laki-laki dan 3
perempuan yang dipimpin Tuan Steng.
Pada tahun 1906 atau rombongan kedua menyusul sebanyak 203 orang
atau 100 kepala keluarga (KK) yang dipimpin Tuan Heers. Tahun 1907, datang lagi
sebanyak 100 orang atau 50 KK. Rombongan ketiga ini dipimpin oleh Tuan Alweek.
Rombongan keempat tiba tahun 1908 menyusul sebanyak 500 orang atau 250 KK
dipimpin Tuan Baang dan rombongan kelima tahun 1909, jumlah jiwa yang
didatangkan tidak jelas. Karena rombongan ini diperkirakan lebih sedikit dari
sebelumnya. Begitu pula dengan yang memimpin rombongan tersebut.
Dari kelima gelombang kedatangan para kolonis, yang terbanyak
rombongannya didatangkan tahun 1908. Rombongan yang dipimpin oleh Tuan Baang
ini mencapai 250 kepala keluarga atau sebanyak 500 jiwa. Sementara rombongan
yang sedikit tiba pada gelombang pertama tahun 1905 yang dipimpin oleh Tuan
Steng atau Eteeng. Kolonis yang didatangkan hanya 43 jiwa, yang 3 diantaranya
wanita.
Jumlah kepala keluarga yang melakukan kolonisasi perdana, tercatat
dalam dokumen resmi pemerintah Hindia Belanda. Walaupun begitu, dokumen
tersebut terkadang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Angka 155 kepala
keluarga atau 815 jiwa, perkiraan kuota yang ditetapkan pemerintah. Jumlah itu
bisa bertambah maupun berkurang dengan batasan yang tidak terlampau jauh dari
angka kuota.
Bentuk tanggung jawab yang ditunjukkan pemerintah Hindia Belanda
karena kolonisasi merupakan program terencana. Perpindahan penduduk dari
wilayah padat, khususnya Jawa, ke wilayah lain yang relatif lebih lapang di
luar Jawa telah menjadi wacana sejak lama. Wacana itu muncul jauh sebelum
kolonisasi akhirnya direalisasikan.
Perencanaan pelaksanaan kolonisasi mulai dipersiapkan setelah
politik etis dicanangkan di tahun 1902. Pemerintah Hindia Belanda melakukan
penelitian mendalam sebelum merealisasikan rencananya. Mereka melaksanakan
survei di beberapa lokasi yang akan menjadi tujuan kolonisasi nantinya. Seiring
pelaksanaan survei, pemerintah pun melakukan uji coba kolonisasi. Uji coba
dilaksanakan antarwilayah di Jawa, yaitu dari Kedu ke Banyuwangi. Hal itu
ternyata gagal. Karena, pemerintah tidak melakukan perencanaan yang matang. Penduduk
yang dipindahkan lalu dikembalikan ke lokasi awal.
Sementara, survei kolonisasi dilaksanakan di Pahiyang, Bengkulu;
Sawah Lunto, Sumatera Barat; Madusari, Kalimantan Selatan; Gedong Tataan,
Lampung serta beberapa wilayah di Sulawesi Tengah. Pemerintah Hindia Belanda,
melakukan penelitian di lokasi-lokasi tersebut terutama untuk menilai kelayakan
permukiman dan pertanian. Hasilnya, Gedong Tataan di Lampung dipilih menjadi
lokasi kolonisasi pertama. Dari sekian wilayah yang di survei, Lampung memiliki
kepadatan penduduk terendah sebesar 5 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan
penduduk di lokasi lain rata-rata 10 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan
penduduk menjadi prioritas utama.
Pemerintah Hindia Belanda menganggap kolonisasi program besar.
Supaya program tersebut berhasil, pemerintah melakukan penelitian secara
serius. Penelitian mula-mula mengkaji kelayakan tanah. Tanah di lokasi tujuan
kolonisasi harus datar dan subur. Selain itu, sumber air pun harus banyak
tersedia. Kajian tersebut bertujuan agar pertanian yang akan dilakukan bisa
berhasil. Lampung dipilih karena semua hal itu tersedia. Tanah di Gedong Tataan
memenuhi syarat. Sumber air pun banyak. Hal lain yang menjadi penelitian, aspek
sosial dan budaya masyarakat. Budaya masyarakat lokal Lampung dinilai memiliki
penerimaan yang baik terhadap masyarakat pendatang. Kenyataan itu untuk
menghindari terjadinya konflik kemudian hari antara masyarakat pendatang dan
pribumi.
Sembari melakukan perekrutan, pemerintah Belanda menyiapkan lahan
untuk kolonisasi di Gedong Tataan. Proses persiapan lahan diawali dengan
permintaan izin kepada pemangku adat Lampung di Padang Ratu, Kedondong, untuk
menggunakan lahan di Gedong Tataan. Hal itu dilakukan karena masyarakat lokal
lekat dengan tanah ulayat atau adat. Sementara, luasan tanah ulayat tidak
pernah memiliki ukuran yang jelas. Untuk menghindari perselisihan lahan ke
depannya, pemerintah kolonial Hindia Belanda meminta izin terlebih dahulu ke
pemangku adat setempat.
Setelah mendapat izin, pemerintah kemudian membuat batas lahan
untuk kolonisasi. Hal itu dilakukan dengan membuat pagar di sekeliling lahan.
Pemerintah pun mulai melakukan pembukaan lahan yang ketika itu masih berupa
hutan. Dengan kondisi sumber daya alam (SDA) yang ada, pola kolonisasi yang
akan diterapkan berupa padi sawah serta palawija. Pemerintah pun membangun
infrastruktur rumah sebagai tempat tinggal kolonis nantinya. Satu rumah
diperuntukkan bagi dua sampai tiga keluarga. Adapun lahan garapan berada di
seputar rumah tersebut.
Meskipun demikian, pembukaan lahan yang dilakukan pemerintah tidak
secara utuh. Beberapa bagian lahan masih berupa hutan. Sehingga kolonis masih
tetap membuka lahan ketika sampai di Gedong Tataan. Artinya, wilayah kolonisasi
sudah dibatasi, tetapi lahannya belum diratakan semua. Masih ada berupa hutan.
Jadi sebelum menggunakan lahan, kolonis masih melakukan pembukaan lahan.
Berdasarkan pembagian atas lokasi lahan tanah kepada setiap kepala
keluarga, rumah-rumah penduduk kolonis pada areal yang dibuka dibuat bersusun
dengan posisi berjejer dan dibatasi jalan penghubung. Uniknya, jalan-jalan yang
ada di desa ini rata-rata berbentuk pertigaan (simpang tiga) dan sejumlah
persimpangan yang membujur lurus hingga ke pertigaan berikutnya.
Sejak tahun 1905 hingga 6 Juni 1987, Desa Bagelen terdiri dari 10
(sepuluh) pedukuhan, masing-masing Pedukuhan Bagelen I, Bagelen II, Bagelen
III, Bagelen IV, Bagelen V (Jembarangan), Bagelen VI (Kutoarjo I), Bagelen VII
(Kutoarjo II), Bagelen VIII (Karang Anyar I), Bagelen IX (Karang Anyar II) dan Pedukuhan
Bagelen X (Wonorejo).
Ketika Budi Utomo sebagai organisasi modern pertama di Indonesia
yang berdiri tanggal 20 Mei 1908, yang merupakan tonggak sejarah permulaan
mulainya pergerakan nasional, tidak terlihat adanya tanda-tanda organisasi ini
berpengaruh besar di Lampung, terutama di Desa Bagelen, Gedong Tataan. Pengikut
Budi Utomo disini belum nampak, meskipun di daerah ini sebelum dan sesudahnya
telah berlangsung kolonisasi.
Hal ini dapat difahami, mengingat para penduduk asal Jawa yang
berkolonisasi ke wilayah Pesawaran waktu itu kebanyakan rakyat biasa yang belum
faham benar dalam berorganisasi, meskipun kolonis pertama disebutkan beberapa
diantaranya termasuk aktivis yang dianggap dapat membahayakan Hindia Belanda.
Di penempatan, mereka tidak untuk di didik maupun diberikan kebebasan dalam
mengikuti suatu organisasi. Sementara, Budi Utomo umumnya banyak bergerak dari
kalangan terpelajar, kaum bangsawan maupun priyayi yang kesemuanya dapat
digolongkan sebagai kaum elite.
Meskipun demikian, terlepas tonggak pergerakan nasional di Pulau
Jawa, kedatangan ratusan jiwa kolonis asal daerah Jawa Tengah ke daerah ini
juga merupakan babak baru perkembangan dan pembauran masyarakat antar pulau
sebelum adanya program pemerintah Republik Indonesia yang dikenal dengan
sebutan transmigrasi.
Perkembangan jiwa penduduk terus bertambah dari waktu ke waktu
membuat desa tersebut semakin ramai. Pertambahan penduduk tidak hanya
disebabkan dengan kedatangan rombongan para kolonis dalam beberapa tahap, akan
tetapi perkembangannya juga dari keturunan-keturunan selanjutnya. Peningkatan
jumlah jiwa dibarengi pula dengan adanya penambahan tempat tinggal dan
permukiman warganya.
Selain perumahan warga kolonis, di lokasi Kolonisasi Gedong Tataan
ini juga dibangun berbagai fasilitas menyangkut pengaturan warganya, seperti
pemerintahan desa hingga sarana pendidikan. Di Desa Bagelen telah pula dibangun
Bagelen School, sekolah desa setingkat sekolah dasar yang diperuntukkan bagi
anak-anak masyarakat setempat.
Meningkatnya jumlah penduduk yang bermukim disertai pula dengan
penambahan kepala keluarga. Semenjak tanggal 6 Juni 1987, Desa Bagelen,
Kecamatan Gedong Tataan, yang waktu itu masih menjadi bagian dari desa dan
kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan telah dimekarkan menjadi beberapa desa
yang wilayahnya terdiri dari pedukuhan, masing-masing Pedukuhan Bagelen I,
Bagelen II, Bagelen III dan Pedukuhan Bagelen IV.
Adapun kepala desa (Kades) yang pernah memimpin Desa Bagelen,
Kecamatan Gedong Tataan, antara lain Poerwo (1905-1907), Kartoredjo
(1907-1912), Sastro Sentiko (1912-1920), Pawiro Tinoyo (1920-1945), Mangunrejo
(1945-1958), Sastro Suwarno (1958-1968), Suparman (1968-1970), Ahmad Fariji
(1970-1980), Toyo Day Rizal (1980-1988), Wagiso (1988-2006) dan Edi Suriyanto
(2006 hingga periode 2013).
Nah, bila Anda ingin berwisata sejarah, mendatangi Desa Bagelen,
Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung salah satunya.
Di sini juga terdapat Museum Nasional Ketransmigrasian, untuk mengingat jejak
kolonisasi pertama yang penempatannya di Desa Bagelen ini.
Post a Comment