Kota Liwa, Provinsi Lampung, mempunyai tempat wisata yang cukup menarik, di antaranya air terjun
Kubuperahu, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang termasuk sebagian
kecil wilayahnya, Pulau Dewa (kuburan yang panjangnya mencapai hampir 3 meter)
di desa Jejawi, dan Prasasti Hujung Langit (Batu Tulis Hara Kuning) di Bawang,
suasana sejuk karena alam yang masih hijau, dan adat-istiadat setempat
(seni-budaya lokal).
Namun
Kabupaten Lampung Barat mempunyai belasan tempat wisata seperti Danau Ranau,
wisata budaya pekon Kenali, (Belalau), dan pantai sepanjar Pesisir Barat
Samudera Indonesia yang dapat diandalkan terutama pantai dan tempat bersejarah.
Salah
satunya Situs Prasejarah Batu Jaguar yang terletak di Pekon Purawiwitan,
Sumberjaya. Di sini, terdapat sebuah batu menhir yang dipercaya masyarakat
dapat memberikan tanda-tanda bila akan terjadi bencana alam. Hal ini terbukti
saat gempa Liwa 1994.
Liwa terletak di jalan simpang yang menghubungkan tiga provinsi,
yaitu Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Di sebelah selatan, Liwa berbatasan dengan pekon (desa) Kembahang
kecamatan Batubrak, di sebelah timur berbatasan dengan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di sebelah barat dengan
pekon Tanjungkemala, kecamatan Pesisir Tengah dan TNBBS, dan di sebelah utara
dengan pekon Tanjungraya, kecamatan Sukau.
Pemilihan Liwa sebagai ibu kota Kabupaten Lampung
Barat memang tepat. Beberapa alasan memperkuat pernyataan ini. Pertama, tempatnya strategis karena berada di tengah-tengah
wilayah Lampung Barat, sehingga untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh
daerah Lampung Barat oleh pemerintah kabupaten akan relatif
efektif. Kedua, Liwa merupakan persimpangan lalu lintas jalan darat dari
berbagai arah: Sumatera Selatan, Bengkulu,
dan Lampung sendiri.
Kita
mulai menjalankan kendaraan dari arah selatan, yaitu dari Bandar Lampung
melewati Gunungsugih (Lampung Tengah), Kotabumi dan Bukitkemuning (Lampung
Utara) memasuki Liwa. Dari Liwa, jika belok kanan ke arah utara, seseorang akan
menuju Kotabatu, sebuah kota kecil di tepi Danau Ranau untuk
selanjutnya dapat melanjutkan perjalanan
ke Baturaja dan Palembang.
Sedangkan jika belok kiri ke arah barat, seseorang akan
menuju Krui, kota pelabuhan Lampung Barat di pantai barat Lampung (Samudra
Hindia). Dari sini, menelusuri pantai barat ke arah utara, seseorang bisa
melanjutkan perjalanan memasuki Provinsi Bengkulu. Tapi, kalau ingin memilih menelusuri pantai barat ke arah selatan,
seseorang akan tembus ke Kotaagung, Kabupaten Tanggamus.
Terletak
di pegunungan dengan hawa yang sejuk dan panorama yang indah seluas sekitar
3.300 hektare, Liwa adalah eksotisme bagi para pencinta alam. Liwa mencakup
beberapa pekon (kelurahan) yang dikelilingi oleh hijaunya bukit-bukit. Dari
kejauhan, kebiruan Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung (2.262 m),
menambah eloknya kota.
Sejak
dulu, Liwa terkenal sebagai tempat pemukiman yang menyenangkan, aman, dan damai
bagi semua orang. Orang Belanda di masa Kolonial dahulu pun memanfaatkan kota
ini sebagai tempat berlibur, beristirahat, dan bersantai.
Beberapa bangunan peninggalan Belanda sebetulnya utuh sebelum gempa
tektonik berkekuatan 6,5 skala Richter menghantam kota ini, 15
Februari 1994. Kini, beberapa peninggalan Belanda masih dapat
kita lihat seperti tangsi yang kini menjadi Kantor Kepolisian Sektor (Polsek)
Balik Bukit dan pesanggrahan (kini Hotel Sindalapai).
Tentang
asal usul nama Liwa, Liwa berasal dari kata Al Liwa (bahas arab :
Bendera), menurut sejarah secara turun temurun, setelah kemenangan Paksi Pak
melawan penguasa Skala Brak kuno, para maulana dari empat kepaksian (Kepaksian
Belunguh, Pernong, Bejalan diway, dan Nyerupa) menancapkan bendera kemenangan
di puncak gunung pesagi, bendera kemenangan yang dimaksud bernama Al Liwa. Liwa
juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung
Way
Setiwang, Way Robok, dan Way Sindalapai yang mengaliri wilayahnya merupakan
sumber kekayaan daerah ini. Ditambah pula, penduduk yang masih jarang membuat
masyarakat daerah ini menjadi makmur dan sejahtera.
Di daerah ini dulunya terdapat bendungan-bendungan tempat ikan (bidok,
bahasa Lampungnya), sehingga terkenallah daerah ini sebagai penghasil ikan.
Hampir setiap orang yang datang dari dan ke tempat itu jika ditanya sewaktu
bertemu di jalan: “Mau ke mana?” atau “Dari mana?” selalu menjawab: “Jak/aga
mit meli iwa” (Dari/hendak membeli ikan). Lama-kelamaan jawaban itu berubah
menjadi “mit meli iwa”. Kemudian karena diucapkan secara cepat kedengarannya
seperti “mit liwa”, dan akhirnya daerah ini mereka namakan Liwa.
Kalau
kita kontekskan dengan sekarang, Liwa memang menjadi tempat pertemuan ikan laut
dari Krui di tepi Samudra Hindia, ikan tawar dari Danau
Ranau, dan ikan tawar lain dari sungai dan sawah.
Di
samping memiliki potensi alamiah seperti pertanian, perikanan, perkebunan,
kehutanan, pariwisata, dan pertambangan, Liwa juga menyimpan sejarah budaya.
Beberapa kebiasaan (tradisi-budaya) yang masih kita temui di
Liwa, antara lain upacara-upacara adat seperti nayuh (pesta
pernikahan), nyambai (acara bujang-gadis dalam rangka resepsi
pernikahan), bediom (menempati rumah baru), sunatan,sekura (pesta
topeng rakyat), tradisi sastra lisan (seperti segata, wayak, hahiwang, dll), buhimpun (bermusyawarah), butetah (upacara
pemberian adok atau gelar adat), dan berbagai upacara adat lainnya. (*)
Post a Comment